KATA
PENGANTARPuji
dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan akhir yang berjudul “Tinjauan Penyebab
Utama Kebakaran Hutan di Daerah Danau Toba” dapat diselesaikan sebagai bentuk
penyempurnaan laporan setelah memperhatikan beberapa masukan. Laporan ini
sekaligus merupakan pertanggungjawaban sebagai konsultan kajian kebakaran hutan
di Danau Toba kepada Program ITTO PD 394/06 Rev.1 (F) “Restoring the Ecosystem
Functions of Lake Toba Catchment Area through Community Development and Local
Capacity Building for Forest and Land Rehabilitation”.
Laporan
ini telah memadukan kajian konseptual dari berbagai pemahaman mengenai
kebakaran hutan, kajian lapangan melalui pengumpulan dan pengamatan data, serta
melalui diskusi-diskusi baik secara formal ataupun informal dengan masyarakat
dan stakeholder-stakeholder terkait lainnya.
Pada
laporan ini juga telah menganalisa wilayah kajian, peristiwa serta
faktor-faktor penyebab terkait kebakaran hutan, Laporan ini juga dilengkapi
dengan rekomendasi untuk mengatasi masalah kebakaran hutan di sekitar Danau
Toba.
Demikian
laporan ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi kelestarian ekosistem
khususnya di DTA Danau Toba. Terima kasih kami sampaikan atas berbagai informasi
dan kesempatan yang telah diberikan kepada kami untuk membantu program ITTO PD
394/06 Rev.1 (F). Semoga kerjasama yang baik ini dapat berlanjut dan dapat
bermanfaat khususnya bagi kelestarian ekosistem DTA Danau Toba.
Bogor,
Juni 2008
DAFTAR ISIHalaman
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
......................................................................................................
1
B.
Tujuan
...................................................................................................................
2
C.
Metode
..................................................................................................................
2
II
ANALISA WILAYAH KAJIAN
A.
Kabupaten Simalungun
.........................................................................................
5
B.
Kabupaten Karo
....................................................................................................
9
C.
Kabupaten Samosir
.............................................................................................
12
III
ANALISA KEBAKARAN
A.
Peristiwa Kebakaran Hutan
.................................................................................
15
B.
Kondisi Klimatologis
............................................................................................
17
D.
Karakteristik Lahan
.............................................................................................
18
E.
Tingkat Resiko
Kebakaran...................................................................................
19
III
ANALISA FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEBAKARAN
A.
Penyebab
Langsung............................................................................................
21
B.
Penyebab Utama
.................................................................................................
23
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
..........................................................................................................
26
B.
Rekomendasi........................................................................................................
27DAFTAR
PUSTAKA
.................................................................................................
30 DAFTAR
GAMBARHalamanGambar
1. Kerangka pemikiran kajian hubungan antara faktor-faktorpenyebab
kebakaran
..................................................................................................4Gambar
2. Lahan terbakar pada bukit yang curam di hutan lindungSibaganding
................................................................................................................6Gambar
3. Lahan yang dibakar untuk pertanian pada lahan marga diSimarjarunjung
............................................................................................................7Gambar
4. Tanaman pinus yang terbakar di hutan Simarjarunjung
...........................8Gambar
5. Limbah hasil panen dan semak belukar sebagai bahan yangberpotensi
terbakar di Tiga Runggu ...........................................................................8Gambar
6. Lahan yang terbakar di daerah bukit di Desa Tongging
.........................11Gambar
7. Kegiatan pembakaran di Kabupaten Karo
..............................................12Gambar
8. Kegiatan pembakaran di Pulau Samosir
................................................14Gambar
9. Distribusi rata-rata tahunan titik api di Provinsi Sumatera Utara
............15Gambar
10. Distribusi rata-rata titik api per bulan di Provinsi Sumatera Utara
........16Gambar
11. Distribusi luas areal yang terbakar di Aek Nauli, Simalungun,Sumatera
Utara, 1997 - 2001
...................................................................................17Gambar
12. Rata-rata curah hujan per bulan dan luas area terbakar diAek
Nauli, Simalungun, Provinsi Sumatera Utara
....................................................18 ABSTRACT
STUDY ON MAIN CAUSES OF FOREST FIRES IN LAKE TOBA
CATCHMENT AREA Dr. Lailan Syaufina; Asep Sukmana, SP
Forest
fires in Lake Toba Catchment Area (LTCA) is one of main factors causing the
land degradation in this area. Once the forest was burn, its impact would
produce ecological, economical and social disturbances in LTCA. Almost 113 ha
of forest area burn every year. Therefore, it requires climatology data,
forest/land cover as fire materials, and topography as known as “fire
environment triangle”. Forest fire prevention is main key to handle forest
fire problems. Main cause of forest fire in LTCA is human activity; therefore,
forest fire prevention should be focused on the increasing of human‟s awareness
toward forest role and function without neglecting law enforcement and other
technical aspects. Basically, there are three approaches in forest fire
prevention, namely: education, law enforcement and technical handling. This
study used survey method. Primary data were collected through filed observation
and depth interview with relevant stakeholders. Main cause of forest fires in
LTCA is the using of fire as a cheap, simple and easy tool for land
preparation. When fires used without good procedure, it becomes uncontrolled
and burn nearest areas. Presence of fuel material in the forest and dry climate
condition would speed up the forest fire. Based on observation on nine
ex-forest fire locations, it found that direct causes of forest fire in LTCA
are: (i) use of fire as land preparation tool, (ii) unintended forest fires,
(iii) intended forest fire, and (iv) fires related to protection effort. This
study found that five main causes of forest fire, most of them interrelation
and interdependent, are: (1) communal land that are not well cultivated, (2) economic
incentive and disincentive, (3) limited knowledge on agriculture and fire
management, (4) lack of local institution capacity, and (5) unsustainable
development program. Therefore, the alternative solutions for forest fire
prevention in LTCA are: (i) optimizing of land use in the LTCA, (ii) program on
land preparation without fire, (iii) program on coaching of rehabilitation
activity, (iv) agroforestry system with fire breaks, (v) formation of community
care on fire, and (vi) economic incentive/disincentive schemes.
RINGKASANTINJAUAN
PENYEBAB UTAMA KEBAKARAN HUTANDI
DAERAH TANGKAPAN AIR DANAU TOBADr.
Lailan Syaufina; Asep Sukmana, SPKebakaran
hutan di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba merupakan salah satu faktor
utama yang menyebabkan degradasi lahan di area tersebut. Sekali hutan terbakar,
maka dampaknya akan menjalar terhadap gangguan ekologi, ekonomi, dan sosial di
sekitar DTA Danau Toba. Hampir setiap tahun area tersebut mengalami kebakaran
hutan sekitar 113 Ha. Untuk menganalisa suatu peristiwa kebakaran, diperlukan
data kondisi klimatologi, penutupan lahan/hutan yang mengindikasikan bahan
bakar, dan topografi, yang ketiganya biasa disebut “fire environment
triangle”. Pencegahan kebakaran hutan merupakan kunci utama untuk mengatasi
masalah kebakaran hutan. Karena kebakaran hutan di DTA Danau Toba terjadi
akibat adanya aktivitas-aktivitas manusia, maka pencegahan kebakaran perlu
ditegaskan dengan cara meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap peran penting
serta fungsi hutan, tanpa mengesampingkan pelaksanaan hukum maupun aspek-aspek
teknis yang lain. Pada dasarnya, terdapat tiga pendekatan dalam pencegahan
kebakaran hutan, yaitu : Pendidikan, Penegakan Hukum, dan Penguasaan Teknik.
Laporan ini adalah hasil dari kegiatan 2.1.1. yaitu melaksanakan kajian
mendalam untuk mengetahui penyebab pokok terjadinya kebakaran hutan di lokasi.
Kajian ini terdiri dari pengumpulan data sekunder dan observasi lapangan,
termasuk wawancara mendalam dengan para pemangku kepentingan.
Aktivitas-aktivitas manusia yang berkaitan dengan kebakaran merupakan faktor
terpenting yang memainkan peran penting di wilayah kajian karena kebakaran yang
disebabkan alam jarang terjadi atau bahkan tidak pernah terjadi di negara
tropis ini. Pada umumnya, penyiapan lahan di sekitar DTA Danau Toba menggunakan
api sebagai alat yang paling sederhana. Ketika api digunakan tanpa prosedur
yang baik, dapat terjadi penyebaran yang tidak terkendali dan membakar daerah
yang berdekatan dengannya. Kemampuan bahan bakar dari hutan dan kondisi cuaca
yang kering dapat menyebarkan api secara cepat. Berdasarkan pengamatan pada
sembilan lokasi kajian, diketahui bahwa terdapat sejumlah kecil penyebab
langsung kebakaran di berbagai lokasi. Kajian ini mengidentifikasi empat
penyebab utama kebakaran: (i) Penggunaan api sebagai alat untuk penyiapan
lahan; (ii) Kebakaran yang tidak disengaja; (iii) Kebakaran yang disengaja; dan
(iv) Kebakaran yang berkaitan dengan usaha perlindungan. Kajian ini
mengidentifikasi lima penyebab kebakaran utama, sebagian besar diantaranya
saling berkaitan satu sama lain, diantaranya:
1. Lahan marga yang tidak dikelola
dengan baik;2. Insentif /Disinsentif Ekonomi;
3. Pengetahuan pengelolaan pertanian dan
kebakaran yang terbatas;
4. Kapasitas institusi yang tidak
memadai; dan
5. Program pengembangan yang tidak
berkelanjutan.
Oleh
karena itu solusi alternatif untuk pencegahan kebakaran hutan di DTA Danau Toba
adalah: (i) Mengoptimalkan penggunaan lahan di wilayah kajian; (ii) Program
penyiapan lahan tanpa bakar; (iii) Program pendampingan rehabilitasi; (iv)
Sekat bakar pada sistem agroforestry; (v) Formasi Masyarakat Peduli Api (MPA);
dan (vi) Skema insentif/disinsentif ekonomiI PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kebakaran
hutan di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba merupakan salah satu faktor
utama yang menyebabkan degradasi lahan di area tersebut. Sekali hutan terbakar,
maka dampaknya akan menjalar terhadap gangguan ekologi, ekonomi, dan sosial di
sekitar DTA Danau Toba. Hampir setiap tahun area tersebut mengalami kebakaran
hutan sekitar 113 Ha. Untuk menganalisa suatu peristiwa kebakaran, diperlukan
data kondisi klimatologi, penutupan lahan/hutan yang mengindikasikan bahan
bakar, dan topografi, yang ketiganya biasa disebut “fire environment
triangle”. Di sisi lain, analisa penyebab kebakaran juga memainkan peranan
penting. Secara fisik, DTA Danau Toba memiliki iklim tipe B berdasarkan Schmidt
Fergusson, yaitu kondisi iklim yang selalu basah tanpa musim kering yang jelas.
Berdasarkan pada analisa data klimatologi selama 11 tahun (1985 – 1995), curah
hujan per tahun untuk area DTA Danau Toba adalah 1.525,22 mm dengan jumlah hari
hujan rata-rata sebesar 206,95 hari/tahun, rata-rata suhu 18,27 – 21º C, dan
rata-rata kelembaban sebesar 85,60%. Dapat dipastikan, bahwa kebakaran yang terjadi
biasanya diakibatkan oleh aktivitas manusia, sedangkan kondisi klimatologis
hanya memberikan sedikit pengaruh. Hal ini berkaitan erat dengan aktivitas
penyiapan lahan, seperti lahan pertanian. Ketika api digunakan sebagai alat
penyiapan lahan tanpa prosedur yang baik, maka penyebaran yang tidak terkontrol
sangat mungkin terjadi dan dapat membakar area lain yang berdekatan.
Ketersediaan bahan bakar dari hutan serta keadaan iklim yang kering dapat
mengakibatkan api menyebar dengan cepat.
Pencegahan
kebakaran hutan merupakan kunci utama untuk mengatasi masalah kebakaran hutan.
Karena kebakaran hutan di DTA Danau Toba terjadi 2
akibat
adanya aktivitas-aktivitas manusia, maka pencegahan kebakaran perlu ditegaskan
dengan cara meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap peran penting serta
fungsi hutan, tanpa mengesampingkan pelaksanaan hukum maupun aspek-aspek teknis
yang lain. Pada dasarnya, terdapat tiga pendekatan dalam pencegahan kebakaran
hutan, yaitu : Pendidikan, Penegakan Hukum, dan Penguasaan Teknik. Pencegahan
kebakaran hutan dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang dibuat secara
terpadu. Rencana pencegahan kebakaran ini dipadukan dengan pengelolaan lahan
secara menyeluruh. Oleh karena itu, program ini akan memadukan antara
pencegahan kebakaran dengan rehabilitasi hutan dan lahan sebagai model. B. Tujuan Tujuan dari program ini
telah ditentukan dalam keseluruhan usulan kegiatan, dengan tujuan spesifik
yaitu untuk meningkatkan pencapaian program rehabilitasi hutan dan lahan di
sekitar DTA Danau Toba. Selain itu, hasil yang ingin dicapai adalah
terbentuknya model rehabilitasi hutan dan lahan dengan teknik pencegahan
kebakaran. Untuk memenuhi tujuan spesifik tersebut, terdapat tiga kegiatan,
yaitu : Kegiatan 2.1.1. Melaksanakan kajian mendalam untuk mengetahui
penyebab-penyebab pokok terjadinya kebakaran hutan di lokasi. Kegiatan 2.1.2.
Melaksanakan workshop untuk menemukan cara terbaik dalam pencegahan kebakaran
hutan dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Kegiatan 2.1.3. Membangun
demonstrasi plot untuk rehabilitasi secara terpadu dengan menerapkan model
terbaik dalam pencegahan kebakaran hutan. C. Metode Laporan ini adalah hasil dari kegiatan 2.1.1. yaitu
melaksanakan kajian mendalam untuk mengetahui penyebab pokok terjadinya
kebakaran hutan di lokasi. Kajian ini terdiri dari pengumpulan data sekunder
dan observasi lapangan, termasuk wawancara mendalam dengan para pemangku
kepentingan. 3
Metodologi
secara rinci adalah sebagai berikut :
1.
Pengumpulan data sekunder, yang terdiri dari:
a.
Peristiwa kebakaran (frekuensi kebakaran, sebaran titik api) selama 5 tahun
b.
Kondisi klimatologi
c.
Demografi
2.
Pengamatan lapangan, terdiri dari :
a.
Tipe kebakaran
b.
Pola penyebaran kebakaran
c.
Tipe Vegetasi (tipe bahan bakar)
d.
Praktek sekat bakar
e.
Penyebab kebakaran (secara langsung/penyebab pokok)
f.
Hubungan antara terjadinya kebakaran dengan aktivitas masyarakat
g.
Praktek pengendalian kebakaran oleh aparat yang berwenang dan masyarakat
Dapat
disimpulkan, bahwa hubungan antara faktor penyebab dengan peristiwa kebakaran
adalah seperti disajikan pada Gambar 1. 4
Gambar
1. Kerangka pemikiran kajian mengenai hubungan antara faktor-faktor
PERISTIWA KEBAKARAN
PENYEBAB POKOK
PENYEBAB
LANGSUNG
FAKTOR
PENDUKUNG
Tipe
Kebakaran
Pola
Penyebaran Api
Kondisi
Iklim
Tipe
Vegetasi
Lokasi/tempat
Praktek
Sekat Bakar
Aktivitas-aktivitas
terkait kebakaran
Motif
Frekuensi
Kebakaran
Titik
Api
penyebab
kebakaran
II ANALISA WILAYAH KAJIAN
A. Kabupaten Simalungun
1.
Hutan Lindung Sibaganding
Karakteristik
hutan lindung Sibaganding adalah daerah pegunungan, dan memiliki fungsi yang
berkaitan dengan fungsi hidrologi DTA Danau Toba. Kebakaran lahan ditemukan
pada tegakan pinus yang memiliki kerapatan rendah, dengan topografi yang sangat
curam. Tipe kebakaran yang terjadi adalah kebakaran permukaan dan berkembang
menjadi kebakaran tajuk. Tidak adanya kebakaran bawah adalah karena lahan
tersebut merupakan tanah mineral dengan kandungan bahan organik yang rendah
pada lapisan permukaannya. Berbatasan dengan lahan yang terbakar, terdapat
lahan pertanian yang bercampur dengan lahan berhutan. Masyarakat lokal
menggunakan lahannya untuk menanam padi dan buah-buahan. Tanaman lain yang
ditanam di area tersebut termasuk kelapa, pisang, petai, kemiri, serta campuran
tanaman kehutanan lainnya. Terdapat kecenderungan perubahan yang signifikan
dalam sistem pertanian dengan membangun teras pada lahan yang ditanami kopi.
Kebakaran bermula dari dasar lembah dimana kegiatan pertanian dilakukan. Api
kemudian menjalar dengan tidak terkendali ke atas bukit yang dibantu oleh angin
kencang dari danau. Kebakaran disebabkan karena kelalaian. Di lain pihak,
terdapat juga sumber kebakaran lain yang dilakukan oleh aktivitas-aktivitas
manusia, kebakaran bermula dari tepi jalan di sekitar area pertanian, khususnya
area yang baru ditanami kopi. Kebakaran tersebut disengaja untuk membuka akses
pada area kopi. 6 Gambar
2. Lahan terbakar pada bukit yang curam di hutan lindung Sibaganding
2.
Hutan Masyarakat (Marga) di Simarjarunjung
Pada
umumnya di Provinsi Sumatera Utara, terdapat beberapa lahan milik marga sebagai
suatu kelompok masyarakat. Karena tidak ada penanggungjawab yang pasti atas
lahan tersebut, maka lahan tidak diolah dengan baik dan menjadi lahan yang
terlantar bahkan menjadi lahan kritis. Berdasarkan hasil pengamatan, ditemukan
lahan terbakar di hutan masyarakat di Simarjarunjung. Lahan tersebut merupakan
hutan campuran dengan semak yang lebat, didominasi oleh `paku resam` yang
menutupi permukaan hutan, serta paku-pakuan yang rentan terbakar jika dalam
kondisi kering. Tipe kebakaran pada lahan tersebut yaitu kebakaran permukaan
yang membakar perdu dan semak belukar. Kebakaran dimulai dari tepi jalan utama
dan menyebar pada area 15 m dari jalan utama tersebut. Kebakaran dilakukan
dengan sengaja untuk membuka lahan. Hal tersebut ditunjukkan dengan log dan
semak belukar yang ditinggalkan di permukaan tanah. Berdekatan dengan area
kebakaran, terdapat tanaman kopi yang baru berumur beberapa bulan. Rupanya,
kebakaran digunakan sebagai cara membuka lahan untuk penanaman tanaman kopi
yang baru. 7
Gambar
3. Lahan terbakar untuk pertanian pada lahan marga di Simarjarunjung
3.
Hutan Pinus di Simarjarunjung
Di
tepi jalan Simarjarunjung, terdapat hutan pinus yang dikelola oleh Dinas
Kehutanan Kabupaten Simalungun. Produksi resin dari tegakan pinus berada dalam
pengelolaan perusahaan lokal. Untuk meningkatkan kondisi tegakan pinus,
rehabilitasi telah dilakukan di area tersebut. Sayangnya, kemudian terjadi
kebakaran pada area rehabilitasi tersebut. Api membakar serasah-serasah pinus
yang kemudian berkembang menjadi kebakaran permukaan. Bahkan beberapa pohon
pinus ada yang terbakar hingga tajuknya. Kebakaran tersebut nampaknya disengaja
dengan tujuan yang tidak diketahui. Hampir setiap tahun, hutan tanaman di
wilayah ini terbakar. Untuk mengendalikan kebakaran, pada beberapa tahun
terakhir, Dinas Kehutanan telah menginisiasi program pengembangan masyarakat.
Masyarakat lokal yang hidup di sekitar area hutan diberi ijin untuk mengelola
lahan dengan menanam kopi pada lajur dengan lebar 50 m dari batas area hutan
pinus. Dengan dilaksanakannya program tersebut, diharapkan bahwa hutan tanaman
dapat dilindungi dari kebakaran yang disengaja dan area penanaman kopi dapat
menjadi insentif bagi masyarakat lokal. 8
Gambar
4. Tanaman pinus yang terbakar di Hutan Simarjarunjung
4.
Desa Sahala, Kecamatan Purba, Tiga Runggu
Di
desa ini, area yang terbakar ditemukan dalam penyiapan lahan untuk pertanian.
Lahan tersebut tidaklah luas, sekitar 200 m2. Kebakaran rupanya dilakukan
sebagai cara untuk pembukaan lahan. Semak belukar yang menutupi lahan akan
mudah terbakar bila kondisinya kering. Angin akan membantu penyebaran api pada
daerah yang terbuka. Resiko kebakaran akan menjadi lebih besar ketika limbah
pemanenan dibiarkan di permukaan tanah, sebagai contoh, limbah tegakan jagung
yang telah dipanen rentan terbakar.
Gambar
5. Limbah hasil panen dan semak belukar sebagai bahan yang berpotensi terbakar
di Tiga Runggu 9
5.
Desa Sipangan Bolon, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun
Kegiatan
pertanian masyarakat Desa Sipangan Bolon adalah dengan menanam
komoditas-komoditas seperti padi sawah, kopi, petai, kemiri, dan aren. Tata
waktu penanamannya adalah sebagai berikut: pembibitan padi dilakukan pada bulan
Januari dan penanamannya bulan Februari, kemudian pemanenan dilakukan pada
bulan Agustus. Sama halnya dengan wilayah lain, penggantian dengan tanaman kopi
juga ditemukan di desa tersebut. Masyarakat menanam dua jenis kopi, yaitu kopi
robusta dan kopi arabika. Kopi arabika merupakan jenis yang baru ditanam, dan
dapat berproduksi lebih banyak pada waktu yang lebih singkat apabila
dibandingkan dengan kopi robusta. Pada penyiapan lahan, biasanya para petani
menggunakan api dan menyebarkan herbisida. Jerami sebagai limbah padi dibakar
secara tersebar, terkadang dilakukan dengan teknik pembakaran gundukan. Api
juga digunakan pada kegiatan berburu babi liar. Biasanya musim kebakaran pada
area yang berbukit terjadi pada bulan Juli dan Agustus yang membakar tanaman
pinus. Pada penanganan kebakaran, masyarakat membuat sekat bakar dengan lebar
10 m dan menggunakan alat pengendali kebakaran manual seperti cangkul dan
penutup dari semak belukar, hal tersebut dilakukan berdasarkan arahan dari
Dinas Kehutanan.
B. Kabupaten Karo
1.
Desa Tongging, Kecamatan Merek
Luas
Desa Tongging sekitar 5.400 Ha dengan populasi penduduk 1.116 orang. Topografi
di Desa Tongging adalah datar hingga bergunung-gunung. Sebagian besar
penduduknya bekerja sebagai petani dan nelayan. Komoditas pertanian yang
diproduksi antara lain padi untuk konsumsi pribadi sedangkan tanaman
hortikultur seperti bawang, cabai, tomat, dan buah-buahan lainnya dijual ke
wilayah lain. Masyarakat telah menggunakan irigasi untuk padi sawah dari dua
sungai yang bersumber di Sungai Sigubang dan Sungai Sidampok. Masyarakat juga
menanam pohon mangga dan kemiri. Pada daerah yang berbukit, tanahnya berbatu
sehingga hanya tanaman tertentu yang dapat tumbuh. 10
Biasanya
tata waktu kegiatan pertanian untuk padi sawah adalah dua kali dalam setahun,
dimulai penanaman pada bulan September dan pemanenan setelah 5 sampai 6 bulan.
Gerakan penghijauan kembali sebagai bagian dari program rehabilitasi telah
dilaksanakan sejak 1970. Meskipun demikian, sebagian besar tanaman rehabilitasi
dirusak dengan dibakar dan berubah menjadi semak, khususnya jenis „kirinyuh‟,
salah satu jenis pionir pasca kebakaran. Program rehabilitasi yang terakhir
dilakukan pada tahun 2007 juga mengalami kegagalan karena kebakaran. Setiap
tahun kebakaran terjadi di wilayah tersebut, khususnya pada musim kebakaran
yaitu bulan April hingga Juli ketika angin kencang melewati wilayah tersebut.
Berdasarkan keterangan dari masyarakat setempat, kebakaran telah menjadi
fenomena yang signifikan sejak tahun 1980. Kebakaran yang besar sering terjadi
pada setiap 2 sampai 3 tahun. Hal tersebut berkaitan dengan perputaran iklim
khususnya terjadinya El-Nino. Tidak ada api yang membakar secara alami. Api
digunakan sebagai alat dalam penyiapan lahan dengan teknik pembakaran gundukan.
Apabila dibandingkan dengan teknik pembakaran yang lain, teknik pembakaran
gundukan lebih aman dan dapat mencegah api menyebar dengan cepat. Berkaitan
dengan kegiatan tersebut, pembuatan kompos dari limbah pertanian juga dilakukan
oleh masyarakat. Hal tersebut dapat mengurangi resiko kebakaran. Ketika
penyiapan lahan dilakukan pada daerah di kaki bukit, api dari kegiatan
penyiapan lahan tersebut dapat menyebar ke puncak bukit dibantu oleh angin
kencang dari daerah danau. Di sepanjang jalan, kebakaran sering terlihat.
Kebakaran tersebut berasal dari aktivitas manusia yang menyalakan api secara
tidak sengaja atau karena kurangnya kewaspadaan. Semak belukar yang tumbuh
sepanjang jalan dipangkas dua kali setahun karena dapat menjadi bahan yang
mudah terbakar. Di sisi lain, kebakaran di daerah bukit disebabkan oleh
kebakaran yang tidak disengaja karena kelalaian dan atau kebakaran yang
disengaja dengan tujuan yang tidak diketahui. 11
Gambar
6. Lahan yang terbakar di daerah bukit di Desa Tongging
2.
Desa Sibolangit, Kecamatan Merek
Luas
wilayah Desa Sibolangit sekitar 2.500 Ha dengan jumlah keluarga 153 KK. Sama
halnya dengan Desa Tongging, sebagian besar penduduk yang hidup di desa ini
adalah petani dan nelayan. Rata-rata tiap orang mengerjakan lahan lebih dari 2
Ha. Komoditas-komoditas yang tumbuh di daerah ini antara lain padi dan tanaman
hortikultur lain seperti bawang dan jagung. Padi sawah ditanam pada bulan
September di awal musim hujan (September hingga Maret) sampai Oktober, sekali
dalam setahun. Jagung dan bawang ditanam pada bulan Januari-Februari. Musim
panen adalah bulan Maret. Bawang ditanam dua kali setahun, bergantian dengan
padi sawah atau jagung selama 1,5 bulan. Pada saat ini, terdapat perubahan
komoditas yang tumbuh di wilayah tersebut, yaitu „ingul‟ (Toona sureni),
mangga, dan pinus. Dari bulan Maret hingga Agustus tidak terdapat kegiatan
penanaman. Penyiapan lahan dilakukan secara manual dengan alat sederhana untuk
membuat alur dan menyisir tanah, pada umumnya kegiatan tersebut dimulai pada
bulan Juli selama 2 hingga 3 minggu. Hanya sekitar 15% dari penyiapan lahan
yang dilakukan dengan menggunakan api melalui teknik pembakaran gundukan.
Kebakaran
telah menjadi ancaman utama dalam program rehabilitasi di desa tersebut.
Kebakaran sering terjadi pada musim kemarau dari bulan Juni hingga Agustus
terutama pada malam hari. Wilayah tersebut memiliki 12
masalah
dengan tanah yang berbatu. Di samping itu, terdapat beberapa jenis
rumput-rumputan seperti alang-alang, „sanggar‟, dan „pinpin‟ yang mudah
terbakar. Tidak ada praktek sekat bakar dan tidak pula terdapat konflik lahan.
Ketika api telah tersulut, maka dengan mudah dan cepat dapat menyebar karena
dibantu angin kencang hingga 40 km/jam, khususnya pada bulan Juli. Hal tersebut
disebabkan karena kurangnya kewaspadaan. Terdapat beberapa masyarakat yang
menjadi anggota Manggala Agni, sebuah kelompok pemadam kebakaran yang dibentuk
oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Hal tersebut merupakan
pengembangan kelompok kerja dari program rehabilitasi. Masyarakat hanya
memiliki peralatan kebakaran yang terbatas seperti 5 unit pemukul api. Meski
demikian, mereka memiliki semangat yang tinggi dalam bekerja layaknya petugas
pemadam kebakaran dan melaksanakannya berdasarkan prinsip “marsidapari” yang
berarti bekerja bersama di semua kegiatan.
Gambar
7. Kegiatan pembakaran di Kabupaten Karo
C. Kabupaten Samosir
1.
Kecamatan Onan Runggu
Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan di daerah tersebut, jarang terjadi kebakaran dalam
skala besar, yang terjadi hanya kebakaran-kebakaran kecil saja. Sebagian besar
penduduknya adalah petani. Komoditas yang tumbuh di daerah tersebut adalah padi
sawah, jagung, dan kacang. Masyarakat juga melakukan kegiatan beternak terutama
ternak kerbau dan domba. Tata waktu kegiatan pertanian terdiri dari penyiapan
lahan pada bulan September hingga Oktober dan penanaman dilakukan 13 bulan
November hingga Desember pada sawah yang tidak teririgasi. Untuk kegiatan
berladang (jagung dan kacang) dilakukan pada bulan Maret. Penyiapan lahan di
daerah ini terdiri dari pelaksanaan penyebaran herbisida, pembajakan dengan
kerbau, pembersihan rumput dan pembakaran gundukan limbah panen. Terdapat
kebiasaan masyarakat setempat dimana tidak ada aktivitas pembakaran di lahan
pertanian atau lahan penggembalaan. Pembakaran kadang digunakan sebagai cara
untuk mengendalikan hama (tikus dan babi liar).
2.
Desa Martoba (Martahan, Tolping, Batu-batu), Kecamatan Simanindo
Terdapat
316 rumah tangga di daerah tersebut yang didominasi oleh keluarga dengan mata
pencaharian sebagai petani. Kepemilikan lahan antara 0 hingga 2 Ha.
Komoditas-komoditas yang tumbuh di daerah ini adalah tomat, cabai, jagung,
singkong, kemiri, petai, dan jengkol. Adapun tata waktu kegiatan pertanian
adalah sebagai berikut: penyiapan lahan dilakukan pada bulan Juli-Agustus,
sedangkan penanaman dilakukan pada bulan September. Terdapat perubahan dalam
penyiapan lahan, dari penyiapan lahan secara manual termasuk pembakaran menjadi
semi manual yaitu dengan menggunakan traktor. Namun, masih terdapat praktek
pembakaran yang terjadi dengan menggunakan teknik pembakaran gundukan. Meskipun
demikian, tidak terdapat lagi pembakaran di lahan penggembalaan untuk kerbau
dan domba.
Musim
kebakaran telah berkurang dalam 2-3 tahun ini. Hal tersebut dikarenakan teknik
penyiapan lahan yang telah dijelaskan sebelumnya. Biasanya kebakaran besar
terjadi khususnya pada musim kemarau ketika angin kencang pada bulan Juli
hingga Agustus. Kebakaran berasal dari kegiatan pertanian, berkemah, konflik
antar marga, dan kebakaran yang tidak disengaja. Pada tahun ini, program
pencegahan kebakaran juga melibatkan pihak gereja. Bagaimanapun juga, program
pencegahan kebakaran membutuhkan penguatan melalui sosialisasi. Pada
penanggulangan kebakaran, pihak gereja dan kepala adat memegang peranan penting
untuk mengajak masyarakat dalam kegiatan-kegiatan penanganan kebakaran.
Pembuatan sekat bakar dan penyisiran tanah telah dilakukan untuk 14
mengendalikan
kebakaran. Meskipun demikian, belum terdapat insentif bagi masyarakat setempat.
Berkaitan dengan resiko kebakaran, satu masalah di daerah tersebut adalah lahan
marga yang sebagian besar tidak kelola dengan baik dan dibiarkan sebagai lahan
yang tidak produktif.
Gambar
8. Kegiatan pembakaran di Pulau Samosir
III ANALISA KEBAKARAN A. Peristiwa Kebakaran Hutan
Sumatera
Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sering mengalami
kebakaran, hal ini dapat dilihat dari terjadinya kebakaran hutan dan lahan
setiap tahunnya. Hal ini juga terlihat dari jumlah persentase titik api sebagai
indikator kejadian kebakaran hutan dan lahan. Pada periode 1998 – 2006, jumlah
titik api tahunan di Provinsi Sumatera Utara berfluktuasi sekitar 2.116 titik.
Jumlah titik api terendah sebesar 1.037 pada tahun 1999 dan jumlah tertinggi
yaitu 3.900 titik api pada tahun 2005 (Gambar 9). Titik api tersebut biasanya
ditemukan di luar area hutan. Berdasarkan data Provinsi di Indonesia yang
sering mengalami kebakaran, terlihat bahwa hanya 24% titik api yang ditemukan
di area hutan, sedangkan sisanya sebesar 76% ditemukan di luar area hutan
(Departemen Kehutanan, 2007). Berkenaan dengan hal tersebut, pada periode 2002
- 2006 sebanyak 60 sampai 70% titik api di Provinsi Sumatera Utara berada di
luar area hutan. Jumlah tersebut meningkat sampai 76% pada tahun 2006 (Akbar,
2007).
Gambar
9. Distribusi rata-rata tahunan titik api di Provinsi Sumatera Utara 0 500 1000
1500 2000 2500 3000 3500 4000 Hotspots 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
2006 Year
Tahun
Titik
api 16
Kebakaran
hutan dan lahan di Provinsi Sumatera Utara terjadi secara fluktuatif sepanjang
tahun, dari bulan Januari sampai Desember. Titik api terendah berjumlah 9 titik
pada bulan Desember dan tertinggi pada bulan Juli sejumlah 406 titik, seperti
yang terlihat pada Gambar 10.
Danau
Toba sebagai danau terbesar di Indonesia sedang menghadapi masalah lingkungan
yang menyebabkan gangguan fungsi dan mengakibatkan degradasi lahan. Kebakaran
hutan di DTA Danau Toba merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan
degradasi lahan. Sekali hutan terbakar, maka dampaknya akan menjalar terhadap
gangguan ekologi, ekonomi, dan sosial di sekitar DTA Danau Toba. Hampir setiap
tahun area ini mengalami kebakaran hutan, dengan luas area terbakar rata-rata
113 Ha. Sebagai contoh, dalam periode lima tahun (1997-2001), areal terbakar di
Aek Nauli – Simalungun (Gambar 11), salah satu kawasan DTA Danau Toba, antara
55 Ha (2001) sampai 170 Ha (1998). 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Hotspots January February MarchAprilMayJuneJuly August September October
November December Month
Gambar
10. Distribusi rata-rata titik api per bulan di Provinsi Sumatera Utara
Bulan
Titik
api 17
0
20 40 60 80 100 120 140 160 180 Burned area (ha) 1997 1998 1999 2000 2001 Year
Gambar
11. Distribusi luas areal yang terbakar di Aek Nauli, Simalungun, Sumatera
Utara, 1997-2001
Tahun
Area
Terbakar (Ha)
B. Kondisi Klimatologis
Distribusi
area yang terbakar berkaitan dengan kondisi fisik, terutama iklim. Untuk
menganalisa suatu peristiwa kebakaran, perlu diketahui kondisi iklim, penutupan
hutan/lahan yang mengindikasikan jumlah bahan bakar, dan topografi, yang
ketiganya biasa disebut “fire environment triangle”. Secara fisik, DTA
Danau Toba memiliki iklim tipe B berdasarkan Schmidt Fergusson, yaitu kondisi
iklim yang selalu basah tanpa musim kering yang jelas. Berdasarkan pada analisa
data klimatologi selama 11 tahun (1985 – 1995), curah hujan per tahun untuk
area DTA Danau Toba adalah 1.525,22 mm dengan jumlah hari hujan rata-rata
sebesar 206,95 hari/tahun, rata-rata suhu 18.27 – 21º C, dan rata-rata kelembaban
sebesar 85,60%. Kondisi iklim tidak memiliki pengaruh yang kuat meskipun
terjadinya kebakaran di wilayah tersebut berkaitan dengan distribusi curah
hujan. Gambar 12 menunjukkan kisaran curah hujan antara 77 mm pada bulan Juli
hingga 342,7 mm pada bulan Oktober. Curah hujan mulai menurun pada bulan Mei
sampai Juli, dan kembali meningkat pada bulan Agustus hingga Desember.
Kebakaran lahan dimulai pada bulan April sampai September. Luas area yang
terbakar berkisar antara yang terendah yaitu 4 Ha pada bulan September,
sedangkan tertinggi mencapai 41 Ha pada bulan Agustus. Walaupun jumlah curah
hujan terendah ada di bulan Juli, namun musim kebakaran tertinggi berada di
bulan Agustus. Proses pengeringan area jelas mempengaruhi kondisi tersebut. Api
terjadi saat tiga elemen tersedia, yaitu: bahan bakar, oksigen, dan panas.
Oksigen tersedia dalam jumlah yang tak terbatas di alam, panas untuk menyalakan
api dapat berasal baik dari alam 18
maupun
aktivitas manusia, sedangkan bahan bakar tersedia secara alami. Proses
kebakaran dapat terjadi bila bahan bakar mulai terbakar. Hal ini dipengaruhi
oleh kuantitas dan kualitas bahan bakar itu sendiri. Proses pengeringan dapat
meningkatkan kualitas bahan bakar seiring dengan menurunnya kadar kelembaban.
Untuk itu, penurunan curah hujan akan mengakibatkan proses pengeringan bahan
bakar. Gambar 12 mengidentifikasikan rata-rata curah hujan per bulan dan area
terbakar di Aek Nauli-Simalungun. Seiring dengan penurunan curah hujan, jumlah
area yang terbakar cenderung mengalami peningkatan, dimulai dari bulan Mei
sampai Agustus. Diantara faktor klimatologis yang lain, curah hujan adalah
faktor penyebab kebakaran yang terpenting. Curah hujan mempengaruhi kadar
kelembaban bahan bakar dan juga tingkat kemudahan untuk terbakar. Kelembaban
relatif juga dipengaruhi oleh curah hujan. Oleh karena itu, faktor klimatologis
sangat mempengaruhi musim kebakaran.
Gambar
12. Rata-rata curah hujan per bulan dan luas area terbakar di Aek Nauli,
Simalungun, Provinsi Sumatera Utara 0.0 50.0 100.0 150.0 200.0 250.0 300.0
350.0 400.0January February MarchAprilMayJune July August September October
November December Month Rainfall (mm) 0510 15 20 25 30 35 40 45 Burned area
(ha) Rainfall Burned area
Bulan
Areal
terbakar (Ha)
Curah
Hujan (mm)
C. Karakteristik Lahan
Peristiwa
kebakaran berkaitan dengan karakteristik lahan, termasuk: penutupan lahan,
jenis tanah, penggunaan lahan, dan topografi. Penutupan lahan di DTA Danau Toba
meliputi hutan, perkebunan, persawahan, dan padang 19
alang-alang.
Sedangkan area pemukiman nampak mengumpul dalam kelompok kecil diantara
perbatasan area persawahan, di sekitar area perkebunan dan hutan. Berdasarkan
data spasial untuk lahan kritis di DTA Danau Toba (2004), sekitar 35% dari
penutupan lahan di area yang dilindungi di dalam kawasan hutan berada dalam
kondisi yang masih baik, sedangkan sekitar 28% dari area tersebut berada dalam
kondisi yang sangat buruk, dari total luas area 131.560,59 Ha. Di sisi lain,
sekitar 35% dari penutupan lahan di area yang dilindungi di luar kawasan hutan
masih dalam kondisi baik, sedangkan sisanya sekitar 29% berada dalam kondisi
buruk, dari total luas area sebesar 62.617,83 Ha. Dengan membandingkan kedua
area tersebut, maka dapat dilihat bahwa lahan kritis lebih banyak terdapat di
dalam kawasan hutan dibandingkan area di luar kawasan hutan. Secara umum, area
tersebut berada pada tingkat kondisi kekritisan lahan yang sedang sampai
kritis. Lahan kritis tersebar ke dalam delapan wilayah kabupaten, yaitu sekitar
94.448,58 Ha di dalam kawasan hutan dan sisanya sebesar 40.110,62 Ha berada di
luar kawasan hutan. Lahan kritis yang terluas di DTA Danau Toba adalah di
Kabupaten Samosir sebesar 71.373,63 Ha dan yang terkecil di Kabupaten Tanah
Karo sebesar 5.885,36 Ha. Topografi lahan di DTA Danau Toba sebagian besar
curam hingga sangat curam (kelerengan > 25% sampai >40%). Kondisi ini
mendukung meluasnya kebakaran, khususnya saat api menyebar ke area perbukitan
dan pegunungan dari lembah menuju ke puncak gunung. Tipe kebakaran yang dapat
terjadi adalah kebakaran permukaan yang dapat berkembang menjadi kebakaran
tajuk. Hal ini diperparah oleh tiupan angin yang berasal dari lembah, yang
menyebabkan api cepat menyebar dengan adanya titik api yang membakar satu tajuk
ke tajuk pohon yang lain.
D. Tingkat Resiko Kebakaran
Berdasarkan
analisa spasial, yang memadukan beberapa parameter termasuk: penggunaan lahan,
konfigurasi lahan, karakteristik curah hujan, dan penggunaan lahan untuk
perkebunan dan kehutanan, sekitar 32% area di Provinsi Sumatera Utara termasuk
ke dalam klasifikasi area yang mudah terbakar dan sekitar 29% termasuk ke dalam
tingkat sedang. 20
Diantara
tujuh kabupaten di DTA Danau Toba, Kabupaten Humbang Hasundutan adalah area
terluas yang memiliki tingkat resiko kebakaran sangat tinggi, yaitu sebesar
1.577 Ha dan Kabupaten Simalungun merupakan area yang memiliki tingkat resiko
kebakaran tinggi, yaitu sebesar 163.257 Ha, sedangkan area dengan resiko
kebakaran terkecil terdapat di Kabupaten Tapanuli Utara, yaitu sekitar 183.791
Ha. Selain itu, Kabupaten Simalungun merupakan area dengan resiko kebakaran
tertinggi jika dibandingkan dengan dua kabupaten kajian lainnya, yaitu
Kabupaten Karo dan Kabupaten Samosir. Kebakaran yang terjadi di area perbukitan
menyebabkan dampak yang sangat besar terhadap fungsi ekosistem di DTA Danau
Toba. Degradasi lahan serta tingkat erosi yang tinggi merupakan salah satu
dampak yang serius di area tersebut. Tingkat resiko kebakaran juga dipengaruhi
oleh jenis vegetasi yang tumbuh di area tersebut. Pinus merkusii adalah
spesies dominan yang menutupi area DTA Danau Toba. Dari salah satu lokasi
kebakaran hutan yang terlihat, jenis pinus ini sangat mudah untuk terbakar
karena memproduksi resin yang memiliki sifat mudah tersulut api. Walaupun
demikian, tegakan pinus relatif dapat beradaptasi dengan kebakaran karena
memiliki kulit kayu yang tebal serta kemampuan regenerasi alami yang tinggi.
IV ANALISA FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEBAKARAN
Aktivitas-aktivitas
manusia yang berkaitan dengan kebakaran merupakan faktor terpenting yang
memainkan peran penting di wilayah kajian karena kebakaran yang disebabkan alam
jarang terjadi atau bahkan tidak pernah terjadi di negara tropis ini. Pada
umumnya, penyiapan lahan di sekitar DTA Danau Toba menggunakan api sebagai alat
yang paling sederhana. Ketika api digunakan tanpa prosedur yang baik, dapat
terjadi penyebaran yang tidak terkendali dan membakar daerah yang berdekatan
dengannya. Kemampuan bahan bakar dari hutan dan kondisi cuaca yang kering dapat
menyebarkan api secara cepat.
A. Penyebab langsung
Berdasarkan
pengamatan pada sembilan lokasi kajian, diketahui bahwa terdapat sejumlah kecil
penyebab langsung kebakaran di berbagai lokasi. Kajian ini mengidentifikasi
empat penyebab utama kebakaran:
Penggunaan api sebagai alat untuk penyiapan lahan
Kebakaran yang tidak disengaja
Kebakaran yang disengaja
Kebakaran yang berkaitan dengan usaha perlindungan.
Penyebab
langsung yang utama dapat dirangkum dan dikategorikan menjadi empat hal
berikut:
1.
Penggunaan api sebagai alat untuk penyiapan lahan
Berbeda
dari wilayah lain di Sumatera dan Kalimantan, penyiapan lahan di Sumatera
Utara, khususnya di DTA Danau Toba bukan merupakan kegiatan pembukaan lahan
yang luas. Meskipun demikian, lahan bekas terbakar di sekitar DTA Danau Toba
tersebut menjadi pemandangan yang kurang sedap untuk dipandang serta berdampak
terhadap lingkungan, seperti erosi. Kebakaran di wilayah kajian digunakan
sebagai alat oleh petani dalam penyiapan lahan di wilayah yang luasnya kurang
dari 1 ha. Sampai saat ini, 22
masyarakat
tidak menguasai teknik penyiapan lahan lain yang sederhana dan murah seperti
dengan menggunakan api. Sebagian besar penyiapan lahan menggunakan teknik
pembakaran gundukan dimana tidak terlalu berbahaya terutama dalam kecepatan
penyebaran api jika dibandingkan dengan teknik pembakaran lainnya seperti
teknik pembakaran cincin, pembakaran muka, dan pembakaran balik. Bagaimanapun
juga, ketika terjadi angin kencang, api dapat menyebar dengan cepat dan menjadi
tidak terkendali.
2.
Kebakaran karena kelalaian/ketidaksengajaan
Penyebab
penting kebakaran lainnya adalah kebakaran yang tidak disengaja dari
aktivitas-aktivitas penyiapan lahan yang didukung oleh angin kencang dari
daerah danau. Karakteristik topografi di DTA Danau Toba menjadi fenomena cuaca
yang unik, seperti perputaran angin dan radiasi matahari. Angin datang dari
lembah kemudian menyebar dan meluas ke daerah perbukitan. Pengaruh dari aspek
(karakteristik topografi dikaitkan dengan pendekatan radiasi matahari) dapat
menyebabkan perbedaan kesiapan bahan bakar di daerah perbukitan untuk terbakar.
Wilayah yang berada di sebelah timur akan lebih cepat mengering karena radiasi
matahari di pagi hari apabila dibandingkan dengan aspek lainnya. Kebakaran yang
tidak disengaja juga dapat berasal dari masyarakat yang membuka akses untuk
lahannya. Terkadang, jalan menuju lahan pertaniannya tertutupi oleh rumput/semak
belukar, yang akan menjadi masalah dalam pengelolaan lahannya. Oleh karena itu,
pembakaran digunakan untuk membersihkan rumput-rumput yang menutupi jalan
tersebut. Saat ini, beberapa masyarakat setempat membudidayakan kopi sebagai
komoditas yang memiliki prospek yang bagus di masa depan.
3.
Kebakaran yang disengaja
Hal
tersebut telah diamati di area rehabilitasi di sekitar DTA Danau Toba. Program
rehabilitasi dilaksanakan hampir di setiap tahun untuk memperbaiki lahan bekas
kebakaran dan juga lahan kritis. Pada umumnya, program rehabilitasi melibatkan
masyarakat setempat untuk turut berpartisipasi. Sebelumnya, banyak program
rehabilitasi yang gagal akibat kebakaran. Hal tersebut dapat dilihat di
sepanjang daerah perbukitan di sekitar DTA Danau 23
Toba,
dimana tidak seluruh permukaannya tertutupi oleh pepohonan. Kebakaran
disebabkan karena kesengajaan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab
dengan tujuan yang tidak diketahui. Nampaknya, hal tersebut berkaitan dengan
ketidakpuasan program, antara lain ketidakpuasan karena kurangnya sosialisasi
dan insentif.
4.
Kebakaran yang berkaitan dengan usaha perlindungan
Kebakaran
tersebut tidak terjadi di semua wilayah yang dikaji, jenis kebakaran ini
diketahui digunakan sebagai alat untuk berburu babi. Babi liar merupakan hama
dalam budidaya pertanian yang menyukai hidup di semak-semak. Ketika musim
kemarau tiba, semak menjadi lebih kering, kondisi tersebut mengakibatkan semak
rentan terbakar. Oleh karena itu, kebakaran yang tidak terkendali dapat terjadi
di luar dugaan dengan semak yang terbakar habis, dan kadang menyebar ke wilayah
yang berdekatan dengannya.
B. Penyebab Utama
Kajian
ini mengidentifikasi lima penyebab kebakaran utama, sebagian besar diantaranya
saling berkaitan satu sama lain.
1.
Lahan marga yang tidak dikelola dengan baik
Di
Sumatera Utara, khususnya di DTA Danau Toba, lahan dapat dimiliki oleh individu
atau kelompok (marga). Untuk kepemilikan lahan oleh individu pada umumnya tidak
memiliki masalah dalam pengelolaannya. Pemilik lahan mengolah lahannya sesuai
dengan keinginan dan keputusannya sendiri. Sementara itu, lahan marga menjadi
milik sekelompok orang yang memiliki latar belakang sejarah dan ikatan budaya
yang kuat. Anggota kelompok (marga) hidup tersebar baik di dalam ataupun di
luar kampung halamannya, namun ikatan semangat yang kuat masih tetap terjaga.
Dalam pengelolaan lahan, terkadang dihadapkan dengan konflik pengelolaan, hal
yang tidak mudah untuk membuat keputusan dalam pengelolaan lahan marga
tersebut. Keputusan tersebut harus disetujui oleh semua anggota kelompok
(marga) yang kadang telah hidup di tempat yang jauh dari kampung halamannya.
Oleh karena itu, lahan marga sering dibiarkan sebagai lahan kosong yang tidak
produktif. Semak belukar dan alang-alang menutupi sebagian besar lahan dan
menjadi penyebab kebakaran, khususnya pada musim kemarau. Kondisi demikian
menghasilkan bahan yang mudah terbakar sehingga ketika 24
api
menyala karena hal yang tidak disengaja, kebakaran semak belukar akan terjadi
dan dapat menyebar dengan tidak terkendali. Kebakaran dapat menjalar dengan
cepat ke daerah yang berdekatan.
2.
Insentif /Disinsentif Ekonomi
Sama
halnya dengan wilayah lain di Indonesia, sampai sekarang tidak ada skema
insentif ekonomi/disintensif dalam pelaksanaan dan atau pengelolaan kebakaran.
Bagi masyarakat di sekitar DTA Danau Toba, kebakaran merupakan cara yang paling
sederhana dan paling murah untuk menyiapkan lahannya. Insentif ekonomi
diperlukan untuk menyurutkan niat masyarakat dalam menggunakan kebakaran
sebagai alat penyiapan lahan. Masyarakat lokal akan memiliki motivasi untuk
menemukan alternatif lain dalam penyiapan lahannya selain dengan api. Di lain
pihak, tingkat penanaman kopi oleh masyarakat dipicu oleh nilai ekonominya yang
menjanjikan sehingga dapat meningkatkan pembukaan lahan untuk budidaya kopi.
Harga kopi dan aksesibilitas yang tinggi dalam pemasarannya mendorong masyarakat
untuk mengganti komoditas pertaniannya dengan kopi. Pada akhirnya, diharapkan
adanya insentif untuk masyarakat agar tercipta persiapan yang lebih baik dalam
perencanaan perlindungan kebakaran hutan dan untuk mendorong masyarakat agar
memiliki keinginan dalam mengambil tidakan-tindakan proaktif untuk mengurangi
resiko kebakaran seperti dijelaskan oleh Cortner dan Field (2007).
3.
Pengetahuan pengelolaan pertanian dan kebakaran yang terbatas
Kegiatan-kegiatan
pertanian dan pencegahan kebakaran saling berhubungan dan saling melengkapi
satu sama lain. Sebagian besar masyarakat lokal di sekitar DTA Danau Toba
memiliki pengetahuan yang terbatas dalam pertanian khususnya pencegahan
kebakaran. Masyarakat menyadari bahwa kebakaran dapat menyebabkan banyak kehilangan
termasuk sumber penghasilannya dan dampak-dampak terhadap lingkungan lainnya.
Bagaimanapun juga, kebakaran masih digunakan sebagai alat dalam penyiapan
lahan. Hal tersebut dikarenakan pengetahuannya yang masih terbatas mengenai
alternatif-alternatif untuk penyiapan lahan tanpa bakar. Selain itu, masyarakat
setempat juga memiliki pengetahuan pengendalian kebakaran yang masih terbatas.
Ketika kebakaran terjadi, dapat diamati 25
bahwa
teknik penanganan kebakaran yang dilakukan masih terbatas dan peralatan yang
digunakan kurang memadai. Karena itu, ketika angin kencang datang dan
menyebabkan kebakaran yang hebat, penanganan kebakaran tidak dapat dilakukan
secara efektif. Demikian pula, kurangnya pengetahuan dalam tindakan pencegahan
dan pasca kebakaran. Tiga pendekatan dalam pencegahan kebakaran, yaitu
Pendidikan, Penguasaan Teknik, dan Penegakan Hukum masih belum dilaksanakan
secara penuh. Sebagian masyarakat tidak mengenal praktek sekat bakar. Kondisi
yang terbatas tersebut, dapat menuntun pada kepedulian untuk terlibat dalam
pengelolaan kebakaran yang mencakup pencegahan, penanganggulangan serta
penanganan pasca kebakaran. Oleh karena itu, peningkatan pengetahuan dalam
pertanian dan pengelolaan kebakaran adalah suatu hal yang harus dilakukan.
4.
Kapasitas institusi yang tidak memadai
Keberhasilan
pelaksanaan program termasuk pengelolaan kebakaran hutan didukung dengan
kapasitas institusi yang memadai. Kapasitas institusi yang tidak memadai dapat
menyebabkan terjadinya kebakaran yang tidak terkendali. Kajian ini menemukan
perbedaan kapasitas institusi pada tingkat desa hingga tingkat kabupaten di
beberapa kabupaten. Sebagian besar dari mereka kurang memiliki kapasitas yang
memadai. Program pengembangan di desa terkadang kurang terkoordinasi antar pemangku
kepentingan yang berkaitan. Di lain pihak, keterlibatan pemangku kepentingan
lain di luar institusi pemerintah masih rendah. Hambatan tersebut dikarenakan
kurangnya sosialisasi program yang mengakibatkan sedikitnya jumlah masyarakat
yang berpartisipasi dan terlibat dalam pelaksanaan program tersebut. Oleh
karena itu, penguatan kapasitas institusi merupakan hal yang penting untuk
dilakukan mencapai keberhasilan pengelolaan kebakaran hutan di DTA Danau Toba.
Selain itu, pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan kebakaran perlu
diintensifkan melalui program yang terpadu dari berbagai institusi.
5.
Program pengembangan yang tidak berkelanjutan
Indikator
kunci dari kesuksesan atau kegagalan program, adalah keberlanjutan program.
Kajian ini mengamati bahwa sebagian besar program 26
pengembangan
di wilayah kajian hanyalah program yang turut berakhir pada saat periode telah
berakhir (tidak berkelanjutan). Terlihat bahwa program-program tersebut,
khususnya dalam pengelolaan kebakaran termasuk program rehabilitasi untuk lahan
bekas terbakar, tidak direncanakan secara matang dan program hanya berorientasi
pada tujuan. Oleh karena itu, beberapa pertimbangan perlu diperhatikan untuk
memperoleh keberhasilan dalam pelaksanaan program seperti yang disarankan oleh
Firey (1960) dan Clawson (1975) dalam Shindler (2007) yang menyatakan bahwa
pengambilan dan penentuan beberapa program tergantung pada tingkat dimana ada
kemungkinan secara fisik (konsisten dengan proses ekologi), mudah secara
ekonomi (menggunakan hasil pendapatan atau keuntungan dalam kelebihan harga),
dan dapat diterima secara budaya (konsisten dengan sosial budaya dan norma yang
berlaku). V PENUTUP A. Kesimpulan
1.
Degradasi lahan di DTA Danau Toba tidak dapat dipisahkan dari kebakaran hutan
dan lahan yang terjadi setiap tahunnya. Tipe kebakaran yang terjadi adalah
sebagian besar kebakaran permukaan dan kebakaran tajuk. Berdasarkan dimensi
biofisik dari kebakaran yang tidak terkendali, kondisi alami di Sumatera Utara,
khususnya di sekitar DTA Danau Toba termasuk dalam kategori resiko kebakaran
sedang. Bagaimanapun juga, manusia memiliki andil terhadap resiko kebakaran
yang tidak terkendali. Dalam sejarahnya, manusia membakar lahan untuk
meningkatkan pengembalaan dan penyiapan lahan pertanian.
2.
Berdasarkan analisa di lokasi kajian, kegiatan pembakaran di pedesaan di
sekitar DTA Danau Toba, terutama di pulau utama Sumatra ternyata lebih jelas
dibandingkan dengan kegiatan pembakaran di pulau Samosir. Selain itu, Kabupaten
Simalungun merupakan area dengan resiko kebakaran tertinggi jika dibandingkan
dengan dua kabupaten lain yang menjadi wilayah kajian, yaitu Kabupaten Karo dan
Kabupaten Samosir.
3.
Berdasarkan analisa kebakaran, peristiwa kebakaran di Provinsi Sumatera Utara
cenderung meningkat. Selain itu, fenomena klimatologis yang ekstrim juga
memiliki pengaruh yang kuat terhadap peristiwa kebakaran. Berdasarkan
distribusi titik api dan kebakaran per bulan terlihat bahwa kebakaran mulai
meningkat dari bulan Juni sampai Agustus dan mencapai puncaknya pada bulan
Agustus. Hal ini seiring dengan terjadinya musim kering/kemarau selama bulan
tersebut.
4.
Berdasarkan analisis faktor-faktor penyebab kebakaran dapat diindikasikan bahwa
peristiwa kebakaran di DTA Danau Toba hanya disebabkan oleh manusia, baik
secara sengaja maupun tidak disengaja. Penyebab langsung
dari
kebakaran meliputi: penggunaan api sebagai alat untuk penyiapan lahan,
kebakaran yang tidak disengaja, kebakaran yang disengaja, dan kebakaran yang
berkaitan dengan usaha perlindungan. Sementara itu, penyebab utama kebakaran
hutan di sekitar DTA Danau Toba adalah: lahan marga yang tidak dikelola dengan
baik, insentif/disinsentif ekonomi, pengetahuan pertanian dan pengelolaan
kebakaran yang terbatas, kapasitas institusi yang tidak memadai, dan program
pengembangan yang tidak berkelanjutan.
B. Rekomendasi
Rekomendasi Karena manusia
sebagai satu-satunya faktor penyebab terjadinya kebakaran di DTA Danau Toba,
manusia juga merupakan bagian penting dalam pemecahan masalah. Beberapa
rekomendasi yang disarankan adalah sebagai berikut :
1.
Mengoptimalkan penggunaan lahan di wilayah kajian
Salah
satu penyebab utama kebakaran hutan dan lahan di DTA Danau Toba adalah lahan
yang tidak dikelola dengan baik. Semak belukar dan alang-alang tumbuh pada
lahan tersebut, dan menjadi bahan bakar yang berpotensi untuk terjadinya
kebakaran lahan yang tidak terkendali. Oleh karena itu, seharusnya lahan dapat
dikelola secara optimal untuk meningkatkan produktivitas.
2.
Program penyiapan lahan tanpa bakar
Penggunaan
api dalam penyiapan lahan dipraktekkan oleh masyarakat sebagai cara yang paling
mudah dan paling murah. Untuk itu, penyediaan cara-cara alternatif dalam
penyiapan lahan tanpa bakar sangat diperlukan untuk mengurangi resiko kebakaran
di sekitar DTA Danau Toba.
3.
Program pendampingan rehabilitasi
Program
rehabilitasi perlu digalakkan untuk mengembalikan lahan kritis di DTA Danau
Toba dan memperbaiki kualitas lingkungan di area tersebut. Dalam pelaksanaan
program, sosialisasi perlu diintensifkan untuk menciptakan partisipasi dan
keterlibatan yang lebih baik dari pemangku-pemangku kepentingan termasuk
masyarakat lokal baik yang hidup di dalam maupun di sekitar wilayah DTA Danau
Toba, institusi-institusi dan 29
pihak-pihak
bisnis yang berpotensi. Pendampingan harus dijadikan prinsip dasar program.
4.
Sekat bakar pada sistem agroforestry
Pembuatan
sekat bakar merupakan salah satu upaya pencegahan kebakaran. Berdasarkan
pengamatan di lapangan, pagar hijau merupakan pilihan terbaik sebagai sekat
bakar pada program pencegahan kebakaran di DTA Danau Toba. Kajian ini
merekomendasikan dua alternatif spesies tumbuhan yang tahan api sebagai pagar
hijau, yaitu : Calliandra callothyrsus dan Macademia hildebrandi.
Calliandra callothyrsus merupakan semak belukar yang memiliki
karakteristik yang spesifik sebagai sekat bakar, seperti: dapat menciptakan
iklim mikro yang mencegah penyebaran api, limbahnya mudah terdekomposisi untuk
mencegah akumulasi bahan bakar, dan di sisi lain spesies tersebut juga
merupakan tumbuhan serbaguna, terutama sebagai makanan lebah pada budidaya
lebah. Sementara itu, Macademia hildebrandi merupakan jenis yang telah
lama ditanam sejak era kolonialisasi Belanda, dan dikenal sebagai pohon yang
tahan api oleh sebagian masyarakat lokal di DTA Danau Toba.
5.
Formasi Masyarakat Peduli Api (MPA)
Untuk
pengelolaan kebakaran yang lebih baik, masyarakat lokal yang terlibat langsung
dengan peristiwa kebakaran perlu diberikan kewenangan yang lebih. Perlu adanya
peningkatan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan pencegahan kebakaran,
penanggulangan kebakaran, dan kegiatan pasca kebakaran untuk meminimalisasi
kebakaran hutan dan lahan di DTA Danau Toba.
6.
Skema insentif/disinsentif ekonomi
Seluruh
rekomendasi program tersebut sangat bergantung pada kesadaran dan keinginan
seluruh pihak yang terlibat. Untuk mendorong kondisi seperti demikian, skema
insentif/disinsentif ekonomi perlu diformulasikan. Pada akhirnya, prinsip dasar
secara fisik, ekonomi, dan sosial budaya perlu dipertimbangkan.
DAFTAR PUSTAKAAcep
Akbar. 2007. Pengendalian Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat sebagai Statu
Upaya Mengatasi Resiko dalam REDD. Makalah Workshop Nasional IFCA-REDD tanggal
5-6 Nopember 2007. Jakarta. Applegate, G., U. Chokkalingam and Suyanto. 2001.
The Underlying Causes and Impacts of Fires in South-east Asia. CIFOR, INDONESIA
Balai Pengelolaan DAS Asahan Barumun. 2004. Buku I. Data Spatial Lahan Iritis
Wilayah Balai Pengelolaan DAS Asahan Barumun. Dirjen RLPS. Dep.Kehutanan. P.
Siantar. Cabang Dinas Kehutanan XII. 1998. Survey dan Pemetaan Pengembangan
Ilaran Api pada Daerah Tangkapan Air Danau Toba. Madang Dinas Kehutanan XII
Toba Samosir. Cortner, H. J. and D. R. Field. 2007. Foreword: Synthesis and
Collaboration. In: Daniel, T. C., M. Carrol, C. Moseley, and C. Raish. Eds.
People, Fire and Forests. A Synthesis of Wildfire Social Science. Oregon State
University Press. Corvallis. USA. 226 pp. Departemen Kehutanan. 2007. Upaya
Departemen Kehutanan dalam Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan serta
penanggulangan Bencana Asap tahun 2007. Makalah dalam Workshop Pencegahan
Kebakaran Hutan di Indonesia. Kerjasama antara JICA dan Fakultas Kehutanan IPB.
30 Agustus 2007. Pangaribuan, H. P. O. 2003. Studi Ekosistem Api pada Tegakan
Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese di Aek Nauli Sumatera Utara. Skripsi
Sarjana. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Shindler, B. 2007.
Public acceptance of wildland fire conditions and fuel reduction practices:
challenges for Federal Forest Managers. In: Daniel, T. C., M. Carrol, C. Moseley,
and C. Raish. Eds. People, Fire and Forests. A Synthesis of Wildfire Social
Science. Oregon State University Press. Corvallis. USA. 226 pp. 31
This
publication was made possible by the generous grant from the ITTO, Yokohama,
Japan Published by ITTO PROJECT PD 394/06 REV.1 (F) Centre of Forest and Nature
Conservation Research and Development (CFNCRD) Available from ITTO PROJECT,
CFNCRD Phone/Fax : 62-251-7194707
Website
: www.forda-mof.org
E-mail
: itto_laketoba@hotmail.com TINJAUAN PENYEBAB UTAMA KEBAKARAN HUTAN DI DAERAH TANGKAPAN AIR DANAU
TOBA
ITTO
PD 394/06 Rev. I (F)
INTERNATIONAL TROPICAL TIMBER ORGANIZATION
CENTER OF FOREST AND NATURE CONSERVATION RESEARCH AND DEVELOPMENT
TINJAUAN PENYEBAB UTAMA KEBAKARAN HUTAN DI DAERAH TANGKAPAN AIR DANAU
TOBA
ITTO PROJECT PD
394/06 REV.1 (F)
September 1st 2007 –
August 31st 2010
Restoring the
Ecosystem Functions of Lake Toba Catchment Area through Community Development
and Local Capacity Building for Forest and Land Rehabilitation
Dr. Lailan Syaufina; Asep Sukmana, SP
@2008 by Centre of
Forest and Nature Conservation Research and Development (CFNCRD) and
International Tropical Timber Organization (ITTO)
This publication was
made possible by the generous grant from the ITTO, Yokohama, Japan
Published by
ITTO PROJECT PD
394/06 REV.1 (F)
Centre of Forest and
Nature Conservation Research and Development (CFNCRD)
Available from
ITTO PROJECT, CFNCRD
Phone/Fax :
62-251-7194707
Website :
www.forda-mof.org
E-mail :
itto_laketoba@hotmail.com